Kalau ada 1 hal yang cukup saya rindukan selama masa pandemik ini, adalah kangennya saya mengikuti event-event Jejepangan seperti Toys Fair dan Comifuro. Kedua acara rutin tahunan tersebut terpaksa harus dihentikan sementara atau berpindah media menjadi media online selama masa pandemik berlangsung. You never know how important something is until it’s gone. Mungkin kata itu ada benarnya juga, karena saya cukup kangen interaksi sosial.
Namun sembari menjaga kesehatan diri kita dan orang lain dengan berada di rumah, saya jadi ingin bahas sesuatu yang berkenaan dengan event-event Jejepangan. Karena kebetulan saya juga baru pecah telor Comiket saat C97 kemarin, Comiket terakhir sebelum kita harus mengunci diri di dalam rumah karena wabah global ini. Karena walaupun sudah pernah ke Jepang sebelumnya, sebagai seorang otaku, kalau nggak ke Comiket rasanya kaya makan nasi padang tapi nggak dibawa pulang, nggak puas gitu. Jadilah saya mencoba datang ke Comiket di akhir tahun 2019.
Kenapa saya datang ke Comiket di akhir tahun dengan alasan saya bisa menghindari panasnya natsucomi, karena lebih mending kedinginan sedikit daripada heatstroke sambil ngantri. Selain itu dengan berkurangnya respirasi keringat manusia, saya kira di Comiket tidak akan bisa mencium wangi-wangi bawang yang melegenda. Tapi ternyata saya salah, sangat salah. Entah kenapa masih ada bau semerbak bawang yang menyengat bahkan di musim dingin sekalipun. Memang benar banyak komplain penduduk setempat mengenai bau badan pengunjung Comiket dan ada tingkatan-tingkatan baunya sendiri.
Tapi mari kita sudahi dulu pembicaraan mengenai bau badan dan mulai berbicara mengenai perbedaan pengunjung Comiket dengan Event Jejepangan lokal di Indonesia. Namun harap diingat artikel ini dibuat berdasarkan pengalaman pribadi penulis dan pengalaman kamu pun mungkin berbeda dengan saya.
1. Comiket itu samudera manusia
Tentu kita sudah familiar dengan banyaknya pengunjung Comifuro di Indonesia yang bisa mencapai puluhan ribu orang setiap tahunnya. Acap kali saya datang ke Comifuro saya selalu berpikir bagaimana caranya ada orang sebanyak ini memenuhi ruangan balai kartini yang cukup besar. Kalau nggak sempit-sempitan di Comifuro rasanya bukan Comifuro, dan mencari tempat istirahat pun cukup sulit karena tidak banyak ruang kosong yang bisa kita manfaatkan.
Namun ternyata, Comiket jauh lebih besar, that goes without saying, karena Tokyo Big Sight sendiri memang sebuah venue yang jauh lebih besar daripada balai kartini. Sudah begitu ada 4 hall yang harus kita arungi, masing-masing dengan specialty hall sendiri-sendiri, dan ke hall manapun saya datang, saya selalu harus beradu sikut dengan orang lain, tidak jarang juga terjadi macet karena pertemuan 2 arus antrian yang sulit untuk diterka, apalagi di lorong-lorong doujinka terkenal, padahal saya cukup yakin setidaknya ruang antar booth di Comiket ini setidaknya 2 kali di event-event lokal.
2. Pengunjung Comiket, barbar.
Selama saya mengunjungi Comifuro, rasa-rasanya saya tidak pernah ingin berantem sama orang, kita permisi ya permisi aja, lewat ya lewat aja, nggak pernah ada adu mulut, adu otot, tidak ada urat-urat nadi yang muncul karena orang-orangnya nggak tahu adat. Saya pikir di Comiket orang-orangnya bakal lebih civilized dong, namanya juga negara yang maju dan dijunjung tinggi atas keramahan penduduknya, apalagi crime rate di Jepang rendah kan?
Tapi kembali, saya salah.
Orang-orang di Comiket ternyata jauh lebih barbar dan unforgiving, banyak yang akan menghalalkan berbagai macam cara untuk lebih dulu sampai ke circle doujin favoritnya, karena memang banyak doujinka-doujinka terkenal yang karyanya habis hanya dalam 1 jam saja. Disikut, didorong, dijorokin, rasa-rasanya saya nggak pernah diginiin saat Comifuro atau event jejepangan lain buset. Tapi di sisi lain saya juga bisa membalas sikutan/dorongan orang lain yang kurang sopan, in a sense rasanya jadi lebih puas juga sih. Untungnya orang Jepang kayanya nggak suka cari ribut, jadi kalau disikut balik nggak ngegas.
3. Mukanya jauh lebih cerah
Tanpa mengurangi rasa hormat saya, namun pengunjung event Jejepangan di Indonesia memang jauh lebih kusut dan lesu dibanding para pengunjung Comiket. Hal ini bukan disebabkan karena orang-orang Jepang yang lebih ganteng, namun lebih kepada transportasi umum yang lebih baik daripada di Indonesia. Tidak jarang pengunjung Jejepangan datang ke event lokal dengan menggunakan kendaraan umum yang panas, diterpa udara kotor dan asap ibukota, dan harus melawan sinar matahari yang terik saat berjalan kaki. Alhasil saat berada di venue yang juga penuh dan panas akan panas tubuh dari pengunjung lain, mereka menjadi terlihat lebih lelah lagi.
Namun di Jepang, dengan transportasi umum yang terpadu dengan baik dan nyamannya moda transportasi membuat orang-orang yang sampai di sana tetap cerah. Setidaknya di kereta yang saya tumpangi, karena saya datang ke Comiket pada jam 10 pagi, dan tidak mengikuti orang-orang yang niat datang dengan kereta pertama. Mungkin orang-orang yang datang di jam-jam tersebut atau bercampur dengan orang-orang yang berangkat kantor pada rush hour hawanya sudah berbeda. Tapi in general wajah orang-orang yang keluar dari Tokyo Big Sight akan terlihat lebih cerah dan bahagia, terutama setelah mendapatkan barang-barang yang memang sudah diincar sejak lama.
4. Pengunjung Comiket tidak pernah berhenti untuk foto
Satu hal yang sering cukup saya sesalkan di Indonesia, tidak hanya di Ennichisai atau Comifuro adalah seringnya pengunjung berhenti di tengah jalan untuk berfoto dengan teman atau cosplayer lain. Pada awalnya hal ini membuat saya cukup sebal, karena di jalan-jalan yang sudah sempit jadi tambah sempit lagi karena ada saja yang foto di tengah jalan. Harusnya ada tempat yang disediakan khusus untuk berfoto atau setidaknya tolong jangan foto di tengah jalanan yang sibuk. Tapi pada akhirnya saya menganggap hal ini adalah sesuatu yang khas di Indonesia dan berlapang dada saja.
Sedangkan di Jepang, nyaris tidak ada orang yang berhenti di tengah jalan, karena masing-masing akan sibuk dengan incarannya sendiri-sendiri. Cosplayer pun memilik ruangnya tersendiri di atas, sehingga tidak ada tuh cosplayer yang berhenti di tengah jalan untuk berfoto. Di satu sisi memang hal ini membuat pengunjung dapat berjalan dengan lebih leluasa dan tidak perlu memikirkan kalau ada yang tiba-tiba berhenti karena mau foto. Namun di sisi lain sedih juga jadi cosplayernya tidak bisa dengan santai berjalan-jalan dan berbicara dengan teman-teman yang kebetulan bertemu di jalan.
5. Makan di luar dong boss
Saya ingat saat di salah satu Comifuro yang paling panas di Indonesia, dimana saat itu Ciayo sedang bagi-bagi es krim karena es krim itu adalah penyelamat saya dari suhu ruangan yang luar biasa lembab dan penuh hawa-hawa manusia. Namun semerbak di antara berbagai macam wangi dan hawa panas yang menyelimuti raga ini, tiba-tiba ada bau MSG yang super menyengat. Ternyata ada yang makan Pop Mie di dalam Comifuro!? Niat betul kawan, makan Pop Mie di tengah kehangatan aura teman-teman yang lain. Pasti sudah lapar banget ya.
Sedangkan di daerah Tokyo Big Sight sangat susah untuk mencari makanan, vending machine, sure there are many, tapi untuk makan biasanya kita harus mencari Lawson atau McDonald terdekat di gedung sebelah. Jangan lupa juga untuk makan sebelum berangkat ke Tokyo Big Sight, kamu tidak akan punya waktu untuk beli makan atau memikirkan untuk makan. Don’t be like me, be smart and get some food.
Pic related, makanan setelah berjuang di Comiket
Mungkin masih ada perbedaan-perbedaan lain antara pengunjung Comiket dengan pengunjung event Jejepangan lokal di Indonesia versi kamu. Apakah kamu juga punya pengalaman yang sama dengan saya, atau pengalaman kamu juga tidak kalah mengasyikkan. Mungkin di kesempatan lain saya juga akan membahas kesamaan dari pengunjung event-event ini juga, jadi kalau mau baca artikel tersebut, ikuti terus JOI dan social media kita ya.
Tidak lupa artikel ini disponsori oleh Harlequin Comics!
Mau mencoba baca komik romantis yang punya rasa-rasa manis dan pahit, tapi juga legal dan murah? Yuk cobain baca di romancecomics.com, situs ini membawakan komik-komik romantsi dari penulis-penulis best seller Harlequin Novels dan diadaptasi oleh mangaka Jepang menjadi seri shoujo. Ada ribuan komik berbahasa Indonesia dan puluhan ribu komik lain dalam berbagai bahasa. Selalu ada komik baru setiap harinya, jadi kamu tidak perlu takut untuk kehabisan bahan bacaan.