Duniaku.net – Sejak kemarin, sensor Hellboy di Indonesia jadi bahan perbincangan.
Biasanya sih, sensor di sebuah film masih bisa dimaklumi. Saya bahkan tidak keberatan dengan metode sensor di film Deadpool. Setidaknya di sana adegan aksinya masih bisa dilihat, meski harus di-zoom di beberapa bagian.
Sensor Hellboy di Indonesia sih membuat film ini benar-benar sulit dinikmati.
Lha kok bisa begitu?
CONTINUE READING BELOW
Metode Sensor yang Asal Potong
Ini nih yang bikin sensor Hellboy di Indonesia terasa bikin kesal banget.
Di Deadpool, sebagian sensor sekedar zoom saat adegan sadis. Adegan yang sepenuhnya dipotong hanya adegan telanjang atau adegan hubungan intim.
Di Hellboy? Adegannya sekalian dipotong atau ditutupi dengan adegan sebelumnya! Ini sih metode sensor untuk film di televisi swasta.
Praktis, setiap sensor terjadi, adegan-adegan yang tersaji pun bakal bikin bingung dan gak enak nonton.
Yang bikin kesal di sini terutama adalah momennya.
Bayangin begini:
-Dua tokoh saling adu jotos.
-Di momen klimaks, satu tokoh menghajar tokoh lain. Si tokoh itu terpental hingga perutnya tertembus sebuah obyek.
-Seharusnya, momen ini menjadi momen akhir dari action. Puncak dari baku hantam. Namun justru momen ini yang dipotong oleh sensor.
Padahal Filmnya Sendiri Film Aksi Gore
Jadi, metode sensor yang dipilih untuk menangani film ini adalah adegannya dipotong.
Kalau cuma sesekali sih mungkin tidak apa-apa.
Masalahnya? Adegan aksi di Hellboy 2019 ini memang kebanyakan penuh dengan adegan sadis!
Seriusan, hanya segelintir adegan aksi di film ini yang kekerasaannya cukup bersih. (Salah satunya adalah baku tembak melawan Nazi di kilas balik Hellboy). Sisanya, manusia dan monster terpotong dan tertusuk itu rasanya terjadi di hampir semua adegan aksi.
Apa yang terjadi saat metode sensornya asal potong?
Ya gampang: hampir di semua adegan aksi, ada adegan yang dipotong!
Bahkan sejak awal film pun adegan dengan Nimue ada yang sudah dipotong seenaknya.
Bayangin deh kamu nonton film action tapi adegan aksinya dipotong-potong.
Pemotongan yang Tidak Konsisten
Yang bikin makin kesel sih, ada juga adegan kekerasan yang lolos dari sensor.
Di satu momen, ada seorang pendeta yang melihat monster menyantap rekan-rekannya.
Bagian si monster memakan sih dipotong, hingga hanya terlihat bayangannya. Namun di momen itu tetap ada organ yang dilempar-lempar hingga ke dekat si pendeta muda.
Di adegan lain, diperlihatkan kepala seorang manusia yang tercemplung ke sungai.
Namun di adegan lain, sekedar sisa-sisa mayat korban amukan raksasa saja dipotong.
Padahal Ratingnya Sudah untuk 17 Tahun ke Atas
Saya masih berpendapat kalau sebuah film sudah memiliki rating 17+ atau 21+, maka yang masuk ke bioskop ya dianjurkan orang-orang berusia begitu.
Kalau ada anak di bawah umur masuk ke bioskop, terus orang tuanya sok-sok ngomel di medsos?
Itu jelas kesalahan orang tuanya, karena seenaknya ngajak anak nonton film yang ratingnya sudah dijelaskan.
Nah, film Hellboy 2019 ini ratingnya 17+. Saya rasa remaja-remaja dan orang tua yang sudah berumur lebih dari 17 bisa menerima tingkat kekerasan di sini.
Jadi sensor di sini ini terasa seperti menganggap penontonnya bodoh.
Singkat kata, sensor Hellboy di Indonesia adalah salah satu sensor terburuk yang pernah saya lihat di film layar lebar.
Kalau televisi swasta menyensor sih, setidaknya kita bisa ngomong, “Ya seenggaknya ini saya nonton gratis.” Jelas, kalau kita nonton di bioskop ya situasinya beda.
Kalau memang hasilnya begini, saya merasa seharusnya pihak yang bertanggung jawab melakukan satu dari dua hal:
-Sekalian saja filmnya tidak usah tayang resmi di Indonesia, toh sepertinya kalau diizinkan juga pihak penyensor akan memotong sekalian seluruh adegan aksinya.
-Tingkatkan sekalian batasan umurnya menjadi 21+ supaya sensornya tidak separah ini.
Hellboy 2019 adalah satu dari sangat sedikit film yang bisa membuat saya keluar dari bioskop sebelum selesai, saking parahnya sensornya.
Saya berharap kejadian serupa tidak terjadi lagi.