Keluarga di seluruh Jepang mengalami masa-masa sulit saat ini. Sekolah yang masih diliburkan memaksa anak-anak untuk tinggal di rumah. Demikian juga orang dewasa yang bekerja menemukan diri mereka membuat kantor di ruang tamu karena status work from home atau teleworking menjadi kebijksanaan perusahaan. Dengan tidak ada tanda akhir dari pandemi, hubungan keluarga pun mulai diuji dengan munculnya tren CoronaDivorce.
Kurang dari sebulan yang lalu, The Japan Times menulis bahwa mungkin kebiasaan budaya membungkuk sebagai ganti berjabat tangan, mengenakan masker, menjaga kebersihan, dan lainnya yang telah diwariskan turun temurun membawa keuntungan bagi negara kepulauan Jepang. Pada saat berita itu dilaporan, hanya 900 kasus yang telah dikonfirmasi di Jepang. Namun, dalam hitungan minggu, dialog itu telah berubah. Infeksi harian berkembang di daerah metropolitan seperti Tokyo, sementara kelompok individu yang terinfeksi terjadi di seluruh negara. Keadaan darurat telah dinyatakan untuk ibukota, dan sekarang seluruh negeri juga dihimbau untuk memperketat aturan social distancing.
Pekerja paruh waktu mengurangi jam kerja. Seperti yang kami laporkan, restoran, supermarket, dan lainnya mengubah jam toko serta model bisnis mereka. Meskipun fleksibilitas ini diperlukan, pengurangan pekerjaan membuat anggaran rumah tangga terbalik. Memang, mereka yang memiliki pekerjaan tidak tetap (atau part timer) merasa nasib mereka tidak pasti, terutama tentang masa depan keuangan. Pasangan yang sudah menikah berjuang untuk mengatasi ketika banyak stresor rumah tangga berkumpul. Sayangnya dampak utama yang terjadi adalah CoronaDivorce menjadi tren yang sedang berkembang di seluruh negeri.
Pesan dari Konselor Pernikahan
Sementara dampak kesehatan COVID-19 sangat buruk, dampak sosial yang terabaikan bukan berarti tidak besar. Karena pasangan menghabiskan lebih banyak waktu bersama, banyak yang menemukan keretakan dalam hubungan mereka yang sebelumnya tidak mereka sadari. Menurut Atsuko Okano, seorang peneliti masalah pernikahan, beliau melihat peningkatan ketegangan dalam hubungan. Dia menjelaskan bahwa “ketika masalah sosial meluas terjadi, hubungan yang sebelumnya stabil dapat berkembang ke arah yang tidak terduga.”
Okano terus menjelaskan bahwa fenomena serupa terlihat setelah Gempa Besar Tohoku dan Tsunami tahun 2011. Meskipun sebagian besar mengharapkan pasangan untuk “menggali lebih dalam kedekatan mereka,” justru banyak yang tersentuh oleh tragedi itu untuk melakukan refleksi kembali kehidupan dan hubungan mereka.
Eiko, seorang ibu rumah tangga berusia 37 tahun yang memiliki pekerjaan IT jarak jauh, menghadapi kenyataan ini. Suaminya ditugaskan oleh perusahaannya untuk bekerja dari rumah saat pandemi menyebar luas. Menurut Eiko, suaminya secara efektif mengambil alih ruang tamu keluarga. Sebagai pasangan yang sering bertengkar, Eiko sedang berjuang untuk beradaptasi dengan situasi ini.
“Dia selalu bertindak seperti pekerjaannya sangat penting,” Eiko menjelaskan. Awalnya, Eiko mencoba untuk membagi tugas-tugas rumah tangga, tetapi dia dengan cepat menemukan upaya tersebut sia-sia. Suaminya berusaha membuat makan siang dan kewalahan. “Dia banyak memberikan pertanyaan seperti, di mana wajan, seberapa besar ukuran sayuran yang dipotong, dan seterusnya. Saya tidak bisa menyelesaikan pekerjaan apapun. Pada akhirnya, dia menolak untuk memasak lagi dan mengklaim bahwa itu pekerjaan wanita,” kata Eiko. “Jika keadaan terus seperti ini, saya berpikir saya tidak mampu melanjutkan hubungan ini,” akunya.
Perceraian di Jepang
Sayangnya, ada banyak yang seperti Eiko. Sementara perceraian di Jepang secara signifikan lebih jarang terjadi daripada di beberapa negara Barat seperti Amerika, namun kali ini perceraian adalah tren yang berkembang. Sekitar sepertiga dari pernikahan berakhir dengan perpisahan, dengan jumlah yang lebih tinggi untuk pasangan yang menikah lebih muda.
Ketika perceraian menjadi lebih diterima, stigma pun menurun. Banyak orang yang bercerai, berkencan, dan menikah lagi. Namun, ada rintangan di tempat kerja. Perceraian seringkali melemahkan prospek pekerjaan di masa depan. Selain itu, sementara hak asuh anak semata-mata diberikan kepada ibu dalam banyak kasus, lebih sedikit wanita yang memiliki karier stabil daripada pria. Situasi ini menciptakan ketidakpastian keuangan lebih lanjut karena jumlah pria yang menghindari tunjangan anak relatif tinggi di Jepang.
Namun, tanpa diduga, ada sejumlah besar pasangan Jepang yang bercerai setelah pensiun. Antara tahun 1990 sampai 2000 misalnya, tingkat perceraian dalam demografi ini meningkat 300%, alasannya mirip dengan yang terjadi pada Eiko. Pasangan yang jarang bertemu satu sama lain selama tahun-tahun mereka bekerja, tiba-tiba terpaksa menghabiskan banyak waktu bersama. Pria sering memperlakukan istri mereka seperti pelayan, dan tidak mengejutkan, wanita tidak mau menerima perubahan ini pada kebiasaan hidup mereka.
Tren CoronaDivorce di Twitter
Memang, sepertinya tidak ada yang lebih menyenangkan daripada menghabiskan waktu bersama orang-orang terkasih. Ketika virus corona terus menghempaskan malapetaka di kehidupan rumah tangga, pasangan-pasangan yang frustrasi mulai menjangkau media sosial. Secara khusus hastag atau tagar CoronaDivorce menjadi tren di Twitter. Sementara beberapa posting serius mempertimbangkan perceraian, tampaknya orang lain hanya melampiaskan situasi sementara, meskipun membuat frustrasi.
“Tentang tren CoronaDivorce ini, suamiku sedang teleworking. Jika aku harus melakukannya juga, kita tidak akan punya waktu pribadi. Akan sangat sulit bersama 24/7 selama sebulan penuh.”
今流行りのコロナ離婚。
夫はとっくにテレワークになっているのだけど、私もそうなったら他人事ではなくなるかも(ง⁎˃ ᵕ ˂ )ง⁾⁾
さすがに24時間1ヶ月近く毎日一緒はキツイっすー笑#コロナ離婚— E٩(๑❛ᴗ❛๑)۶K (@skke__) April 14, 2020
“Aku terus melihat orang-orang yang disuruh work form home menulis ‘istriku marah padaku walaupun aku tidak melakukan apa-apa.’ Apakah kamu tidak mengerti apa-apa! Itu karena kamu TIDAK melakukan apa pun makanya dia marah.”
リモートワークや外出自粛要請を食らった事で
「何もしていないのに妻がイライラしている」
って男性を見かけるんだけど
君達何一つわかってないね
「何もしない」から「イライラされる」んだよ— R会長 (@Renochanz) April 13, 2020
Atau, seperti yang ditulis seorang pengguna Twitter ini:
リモートワークや外出自粛要請を食らった事で
「何もしていないのに妻がイライラしている」
って男性を見かけるんだけど
君達何一つわかってないね
「何もしない」から「イライラされる」んだよ— R会長 (@Renochanz) April 13, 2020
“Jika ini terus berlanjut dan kami tidak dapat meninggalkan rumah sampai Golden Week [liburan musim semi], saya yakin hubungan kami akan mencapai titik terendah. Jika suami saya terus menjadi brengsek seperti sekarang sambil berbaring di sekitar rumah, saya membayangkan ini akan menjadi situasi yang menyedihkan. Saya ingin pulang, tetapi Osaka dan Hyogo dalam kondisi yang buruk. Saya menyerah! Ini akan menjadi liburan Golden Week terburuk yang pernah ada. “
Sepertinya COVID-19 benar-benar membuat semua orang terpuruk. Untuk mencegah hal ini tampaknya ide dari sebuah perusahaan Jepang yang menawarkan apartemen untuk mencegah CoronaDivorce merupakan solusi efektif untuk mencegah munculnya wabah perceraian sebagai efek samping wabah corona di Jepang.
The post CoronaDivorce Saat Pasangan yang Terkurung Menyadari Bahwa Mereka Sebenarnya Tidak Akur appeared first on Japanese Station.