Baru minggu lalu Jepang mulai mendistribusikan vaksin COVID-19. Memang untuk negara maju usaha ini agak terlambat melihat negara kita saja sudah mulai Januari lalu. Namun Jepang lebih berusaha melakukannya dengan cara yang lebih terorganisir. Vaksinasi diprioritaskan untuk staf medis, orang tua, dan orang dengan kondisi kesehatan rentan secara berurutan. Baru demografi populasi lainnya mendapat vaksin.
Namun, ini bukan tanpa tantangan, memang budaya masker di sana cukup kuat namun masih ada ketakutan akan efek samping vaksin dan optimisme yang membuat seseorang yakin dia tidak akan sakit. Ini yang membuat tingkat vaksinasi flu tetap bertahan di 50 persen tahun dari tahun ke tahun, meskipun faktanya di Jepang jumlah kematian akibat flu pada tahun 2018 hampir sama dengan kematian akibat COVID-19 pada tahun 2020.
Untuk itu, Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan akan memberikan 44.200.000 yen (sekitar 6 milyar rupiah) kepada keluarga dari setiap orang yang meninggal akibat vaksin COVID-19 dan bahkan menanggung biaya pemakaman hingga 209.000 yen. Tidak masalah bila alasannya adalah kelalaian dari staf medis atau produsen vaksin. Sehingga masalahnya tinggal kematian saja, melihat orang mati tidak bisa membelanjakan uang.
Ini sebenarnya adalah kebijakan lama kementerian yang mencakup segala jenis vaksinasi, tidak hanya COVID-19. Namun, baru-baru ini menjadi berita saat diangkat oleh Menteri Kesehatan Norihisa Tamura dalam rapat anggaran. Dilihat dari komentarnya, banyak orang yang sampai sekarang tidak mengetahui kebijakan ini.
“Nah, ini baru berita! Ayo cepat mati! ”
“Wow! Ia juga mengatakan kita bisa dapat lima juta yen (799 juta rupiah) per tahun jika dibuat cacat oleh vaksin. Ini peluang bagus. ”
“Mungkin ini akan membantu lebih banyak orang mendapatkan suntikan.”
“Biarkan game kematian dimulai!”
“Kelihatannya sederhana, tetapi bukannya sulit untuk membuktikan vaksin yang menyebabkan kematian?”
Sebenarnya ada masakah yang lebih besar dari komentar terakhir. Menurut laporan oleh Diamond Online, ambiguitas efek samping vaksin cenderung menguntungkan para korban di pengadilan. Akibatnya, perusahaan farmasi Jepang enggan memproduksi vaksin dalam beberapa tahun terakhir, karena risiko finansial lebih besar daripada manfaatnya.
Hal ini, ditambah dengan fakta bahwa sebagian besar masyarakat bahkan tidak mengetahui kebijakan tersebut, akan menunjukkan bahwa kebijakan tersebut mungkin lebih dimaksudkan untuk membujuk perusahaan Jepang untuk memproduksi vaksin mereka sendiri dengan mengurangi risiko tuntutan. Namun, Diamond Online juga menunjukkan bahwa bahkan setelah menerima uang pemerintah, korban masih memiliki hak untuk menuntut perusahaan di pengadilan.
Tentu saja pada dasarnya jaminan ini ada agar masyarakat dan produsen optimis pada vaksin melihat pemerintah Jepang bersedia untuk mengeluarkan banyak uang untuk menjamin efektivitas vaksin.
Sumber: Soranews