Mitos menjadi kuat karena budaya populer, dan format budaya populer adalah lelucon.
Sinetron Azab adalah tayangan sinetron karya Mega Kreasi Films di Indosiar yang menuai rating bombastis dan menjadi tayangan populer di tengah masyarakat. Tidak hanya itu, karya-karya studio tersebut bahkan membuat aktor dan sutradaranya dinominasikan dalam Festival Film Bandung 2018.
Sejatinya, Azab adalah satu dari banyak sinetron religi yang sudah mendarah daging di dalam dunia pertelevisian Indonesia. Kalau dirunut kembali, sinetron karya MD Entertainment yang tayang di Trans TV dahulu kala, Hidayah, jauh lebih dulu menggunakan formula yang sama dengan Azab.
Serial religi lepas, berbeda dengan saudaranya yang juga tidak kalah populer yakni serial religi episodik memberikan cerita-cerita terpisah yang mudah untuk dicerna tanpa khawatir ketinggalan tonton berpuluh episode sebelumnya. Dan tentunya, pesan yang hitam-putih tentang agama dan pelaku jahat menjadi daya tarik utamanya.
Dilansir dari BBC, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberi peringatan kepada dua stasiun televisi yaitu MNC dan Indosiar terkait tanyangan religi Dzolim dan Azab. Peringatan ini pun dilayangkan akibat berbagai macam aduan yang datang ke instansi tersebut, salah satunya melalui media sosial.
Nuning Rodiyah, Komisioner Bidang Isi Siaran KPI mengatakan,”Kemarin juga sudah komunikasi dengan salah satu stasiun televisi yang disebut itu, dan mereka sudah menurunkan programnya, mereka sudah tidak main konten-konten itu. Satu stasiun lainnya, kalau mereka masih main, maka harus diperketat, konten yang berpotensi menyinggung konten agama harus hati-hati menvisualkannya.”
Aduan tersebut juga terkait dengan protes-protes terhadap adegan yang berkaitan dengan perlakuan tidak hormat pada jenazah. “Jenazah yang jatuh, terlempar, hangus, dan yang seperti itu,” jawab Nunung.
Beliau pun melanjutkan, “Akhirnya kita verifikasi. Karena ini persoalan jenazah, kita coba pendekatan pasal supranatural, ternyata tidak ditemukan pelanggaran. Tidak ada mayat yang bangkit dari kubur, mayat yang dikerubuti hewan-hewan, mayat tidak lengkap dan sebagainya, akhirnya pakai norma agama.”
KPI juga sedang melakukan koordinasi dengan Majelis Ulama Indonesia untuk memberikan penilaian terhadap tayangan religi, pasalnya karena KPI tidak memiliki kapasitas untuk memberi nilai menyangkut nilai-nilai keagamaan.
Redaksi Duniaku.net sudah mencoba untuk menghubungi Mega Kreasi Film, namun pihak studio belum berkenan untuk memberikan pendapatnya dalam kasus ini.
Dalam riset yang diterbitkan tahun lalu, Muzayin Nazaruddin sebagai Dosen Program Studi Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) menyebut banyak sinetron religi mengambil cerita dari majalah bergenre Islam mistis seperti Hidayah, Ghoib, dan Taubat – yang penjualannya laku keras.
Sebelum Azab dan Dzolim, Rahasia Ilahi di TPI, Iman di SCTV, dan Hidayah di Trans TV terlebih dahulu menggunakan format ini dengan majalah Hidayah sebagai referensi.
Satu hal yang menyamakan Dzolim dan Azab, dan barangkali yang berkontribusi terhadap peringatannya, ialah penggunaan judul-judul episode yang berkesan vulgar dan bombastis.
“Ini kan mirip koran kuning. Strategi koran kuning ditiru, semakin vulgar dan bombastis ratingnya akan semakin tinggi,” katanya.
Koran Kuning punya nama lain Jurnalisme Kuning, yakni jenis jurnalisme dengan berita-berita bombastis, namun kurang bermakna. Di sisi lain, berkat strategi tersebut yang berorientasi meningkatkan penjualan Koran Kuning kerap dituduh tidak profesional dan tidak beretika.
CONTINUE READING BELOW
Akan tetapi, apakah hal ini juga berlaku di dalam sinetron, yang merupakan fiksi sedari awal? Bisa jadi, karena setiap karya juga memiliki dampak lebih dari sekadar hiburan, namun menanamkan pesan dari pelaku karyanya terhadap setiap masyarakat yang menonton.
Semakin menarik ia, semakin besar pula tanggung jawabnyasebagai penyampai pesan.
“Menguatkan mitos dalam masyarakat, bahwa agama itu menghukum, Tuhan yang punya dua muka, baik hati dan kejam, agama yang menghukum pada yang jahat dan baik pada orang yang baik. Ini memperlihatkan perspektif hitam putih. Bahwa itulah cara pandang kita (masyarakat) pada orang lain. Kalau orang dipandang jahat akan jahat terus, baik akan baik terus,” jelas Nazaruddin.
Menanggapi tren lelucon sinetron Azab yang juga terjadi di media sosial, Nazaruddin mengatakan jelas bahwa sinetron religi mendangkalkan Islam dan distortif. Tapi meresponsnya dengan tawa, justru dipandang sebagai peneguhan.
Apakah menurutmu tayangan-tayangan religi dewasa ini sudah menjadi tontonan yang berfaedah? Bagikan pendapatmu di kolom komentar