Masih ingat dengan kisah perjuangan Amakusa Shirou dalam membela umat Kristiani di artikel tentang Shimabara? Nah, kali ini JS akan menjelaskan tentang hubungan tentang Kepulauan Amakusa dan perjuangan serta perkembangan agama Kristen di Jepang. Penasaran?
Dilansir dari Japan Guide, Amakusa (天草) merupakan sebuah kepulauan di barat daya Kota Kumamoto di barat Kyushu. Kepulauan ini terdiri dari 2 pulau besar dan ratusan pulau kecil dengan pemandangan yang cantik.
Pulau utama dari Amakusa (Shimoshima, Ueshima dan Oyano) terhubung ke daerah utama Kumamoto dengan jembatan, sementara pulau-pulau mungilnya bisa dikunjungi dengan kapal feri. Amakusa sendiri memiliki tanaman hijau yang melimpah, membuatnya menjadi salah satu Geopark nasional Jepang. Tak hanya itu, banyak lumba-lumba liar di sekitar kepulauan yang bisa dilihat dari atas kapal feri, menambah keindahannya.
Meski memiliki keadaan alam yang sangat indah, ternyata kepulauan Amakusa punya sejarah kelam. Pada zaman Edo, penduduk Amakusa Islands yang beragama Katolik mendapat perlakuan kasar dan persekusi dari penguasa saat itu. Lelah dipresekusi, para penduduk Amakusa berangkat menuju Shimabara untuk melawan pemimmpin mereka. Kejadian inilah yang disebut dengan Pemberontakan Shimabara dalam sejarah Jepang, salah satu pemberontakan terbesar pada Zaman Edo.
Pemberontakan ini akhirnya berakhir drngan kemenangan tentara Keshogunan, dan kematian seluruh pemberontak, termasuk pemimpin mereka, Amakusa Shiro. Setelah itu, Keshogunan Tokugawa melarang penyebaran agama Katolik di Jepang. Bahkan, seluruh misionaris yang ada di Jepang diusir.
Mereka yang melanjutkan praktik keagamaan atau “Hidden Christians” ini menemukan cara untuk tetap beribadah dengan menyamarkan cara beribadah mereka menjadi layaknya cara beribadah agama Buddha. Gambar dan patung Bunda Maria dibuat menyerupai Kannon dalam agama Buddha, sementara lambang salib dan Bunda Maria yang “asli” diukir di belakang patung atau benda tersembunyi lain. Para peganut agama Kristen ini menyamarkan cara berdoa mereka sehingga menyerupai puji-pujian Budda dan melakukannya pada tengah malam agar tidak ketahuan.
Keshogunan Tokugawa juga melakukan pengecekan tahunan untuk mencegah akar penyebaran agama Kristen. Salah satu cara pengecekannya adalah dengan mewajibkan setiap penduduk Kepulauan Amakusa untuk menginjak gambar yang berhubungan dengan agama Kristen. Orang yang menolak akan disiksa hingga meninggalkan kepercayaannya atau dihukum mati.
Kini, Kepulauan Amakusa sudah damai dan semua orang bebas memeluk agama yang mereka percayai. Nah, jika ingin berkunjung ke tempat-tempat bersejarahnya, bisa mengunjungi tempat-tempat di bawah ini:
Oe Catholic Church
Oe Catholic Church adalah sebuah gereja Katolik bergaya Romanesque yang dibangun pada tahun 1933 oleh seorang misionaris Perancis dan pengikutnya. Di bagian bawah bukit ada Amakusa Rosario Museum yang memamerkan berbgai item yang digunakan para Hidden Christians ketika agama Kristen dilarang pada zaman Edo.
Amakusa Christian Museum
Amakusa Christian Museum di pusat Kota Amakusa memperlihatkan sejarah para umat Kristen di Amakusa pada saat terjadinya Pemberontakan Shimabara dan kehidupan para “Hidden Christians”. Di dalamnya, ada sebuah lukisan besar yang menggambarkan pertempuran terakhir Pemberontakan Shimabara di Kastil Hara dan berbagai item yang digunakan oleh para hidden Christians. Ada beberapa info dalam bahasa Inggris juga lho, sayangnya tidak banyak.
Amakusa Shirou Museum
Museum ini menceritakan tentang Pemberontakan Shimabara, hanya saja berfokus pada pemimpin muda mereka, Amakusa Shirou. Para pengunjung dapat melihat kronologis pemberontakan mulai dari awal pemberontakan hingga pertempyran akhir di Kastil Hara. Asyiknya lagi, ada pamphlet bebrbahasa Inggris lengkap dengan audio guide-nya, jadi tidak perlu takut jika tak mengerti bahasa Jepang. Di sini juga ada ruang meditasi bagi mereka yang ingin mencari ketenangan sementara.
Jangam lupa berkunjung ke Amakusa jika ke Jepang nanti ya!
The post Mengunjungi Kepulauan Amakusa, Saksi Perjuangan Umat Kristiani Jepang appeared first on Japanese Station.