Baru-baru ini ada sebuah berita besar di tengah wabah coronavirus di Jepang, dimana tingkat kehamilan remaja SMP dan SMA meningkat drastis selama penutupan sekolah. Berita yang bisa dianggap positif jika melihat jumlah kelahiran di Jepang yang kian menurun, namun bisa dianggap buruk saat kedua individu terkait tidak menginginkan buah hati di luar rencana mereka. Seberapa dalam penurunan jumlah kelahiran di Jepang di tahun 2019?
Menurut data statistik tahunan yang dirilis Kementerian Kesehatan Jepang, jumlah kelahiran bayi di tahun 2019 mencapai 864.000 jiwa. Angka ini menurun hingga 54.400 jiwa dari tahun 2018. Ini juga menjadi pertama kalinya jumlah kelahiran di Jepang jatuh di bawah 900.000 jiwa sejak pencatatannya pada tahun 1899. Rekor tertinggi kelahiran di Jepang terjadi pada tahun 1947, dimana kala itu jumlah kelahirannya mencapai 2.678.792 jiwa.
Jumlah kelahiran yang menurun juga selaras dengan menurunnya jumlah pernikahan. Di tahun 1970, ada sekitar 1.030.000 pernikahan per tahunnya, namun di tahun 2019 hanya tercatat 583.000 pernikahan. Pada tahun 2017, Insitusi Nasional Populasi dan Riset Keamanan Sosial memprediksi bahwa jumlah kelahiran akan jatuh di bawah 900.000 jiwa pada tahun 2020, dan 860.000 jiwa pada tahun 2021. Sayangnya oh sayangnya, prediksi tersebut ternyata terjadi dua tahun lebih cepat.
Merespon dari situasi ini, pemerintah pusat mengumumkan pada 1 Mei lalu terkait program dari “Tindakan Balasan untuk Penurunan Tingkat Kelahiran Masyarakat”. Dalam draf orisinalnya, demi mencapai target rasio tingkat kelahiran 1,8 per perempuan, maka pemerintah akan menaikkan rasio cuti pengasuhan anak untuk suami dari 6,16% menjadi 30%. Draf orisinal ini rencananya akan ditetapkan kabinet dalam waktu satu bulan.
Secara realita, rasio tingkat kelahiran dari perempuan di Jepang pada tahun 2018 hanya mencapai 1,42. Demi mencapai tingkat kelahiran ideal adalah 2,07, namun rasio ini sudah anjlok dari angka 2 sejak tahun 1975. Penurunan ini kemudian terjadi di setiap tahunnya hingga saat ini. Shinzo Abe pada tahun 2015 mengungkapkan target rasio tingkat kelahiran mencapai 1,8 per perempuan. Namun dari tahun 2015 ke 2018, rasio tingkat kelahirannya menurun secara berturut-turut 1,45 (2015), 1,44 (2016), 1,43 (2017), dan 1,42 (2018). Di tengah pandemi coronavirus, menaikkan rasio ini dianggap mustahil walau banyak individu yang memiliki waktu lebih di rumahnya masing-masing.
Secara administratif, populasi anak (di bawah 15 tahun) di setiap prefektur di Jepang terkonsentrasi di daerah dengan populasi manusianya yang tinggi. Namun angka populasi anak di setiap prefekturnya ikut terus menurun di setiap tahunnya. Untuk lebih detailnya, berikut adalah lima prefektur dengan populasi anak terbesar di Jepang:
- Tokyo Raya : 1.553.000 anak
- Kanagawa : 1.109.000 anak
- Osaka : 1.043.000 anak
- Aichi : 991.000 anak
- Saitama : 881.000 anak
Sementara itu tiga prefektur terendah dalam populasi anak diantaranya:
- Tottori : 70.000 anak
- Kochi : 77.000 anak
- Tokushima : 81.000 anak
Perlu diketahui populasi manusia di setiap prefektur di Jepang tidak merata, sehingga perlu adanya proporsi rasio dari populasi anak dengan populasi keseluruhan manusia. Berikut adalah tiga prefektur teratas dengan rasio tertinggi:
- Okinawa : 16,9%
- Shiga : 13,8%
- Saga : 13,5%
Sementara itu tiga terbawah diantaranya; 47) Akita : 9,8%, 46) Aomori : 10,7%, dan 45) Hokkaido : 10,8%. Prefektur Akita memecahkan rekor terbaru dalam rasio populasi anak dengan persentase di bawah 10%. Rekor ini menjadi yang pertama kali sejak rasio populasi anak dihitung sejak tahun 1970.
Di tengah wabah coronavirus, pemerintah pusat Jepang tak hanya dipusingkan dengan penanganan virus dan korbannya, tapi juga dengan terancamnya eksistensi warganya sendiri. Kebijakan radikal memang perlu digalakkan sedini mungkin jika sudah mempertimbangkan situasi keruangan dan sosial. Dengan warganya yang kian menua, perlu ada pengganti muda yang harus disiapkan.
Gambar: Kantei
Sumber: Post Seven via Yahoo! News, Japan Government, Yomiuri Shimbun, NHK