Masaaki Yuasa sendiri mengaku kalau dia mengerjakan anime ini karena dia menemukan netizen yang mengatakan kalau Eizouken ni wa Te o Dasu na! Itu idealnya diadaptasi oleh kreator seperti dirinya. Seharusnya nggak banyak yang kaget kalau seri tentang proses kreatif dan imajinasi ini akhirnya bisa menjadi kandidat Anime of The Year tahun ini.
Mengambil cerita di tahun 205x adalah Jepang yang sudah banyak berubah, baik di aspek geografi, demografi, dan kultural. Ini bukan sesuatu yang diberitahu langsung oleh anime, namun sesuatu yang harus kita perhatikan sendiri di seri yang punya fokus terhadap detail ini. Seperti biasa begitu sekelompok siswi yang berbakat berkumpul sebuah klub terdirikan dan sesuai judulnya: Eizouken yang merupakan klub film, dan seperti yang Kanamori tekankan: bukan klub anime; menghasilkan berbagai karya lewat berbagai siksaan budget dan politik sekolah.
Midori Asakusa adalah kreatif yang terpaksa jadi manajer akibat tanggung jawabnya sebagai sutradara. Lawan utamanya adalah Impostor Syndrome dan sulitnya berinteraksi dengan orang lain, bukan kombinasi yang bagus melihat dirinya harus mengkoordinasi berbagai kreatif di sebuah proyek. Setelah cakrawalanya diperluas oleh anime dirinya ingin bisa melakukan hal yang sama pada orang lain, dan dengan cukup pengalaman dia mungkin kelak menjadi Miyazaki selanjutnya.
Tsubame Mizusaki, walaupun memiliki prospek bagus sebagai model dirinya lebih ingin menjadi Satoshi Kon berikutnya berkat obsesinya terhadap gerakan. Mau nggak mau sebagai public figure namanya lah yang mempopulerkan proyek Eizouken walaupun mampu menghasilkan animasi yang berkualitas.
Sayaka Kanamori memastikan ide dari dua karakter di atas bisa jadi produk nyata dan menjamin para klien memberi bayaran yang bukan sekedar exposure aja. Pengalaman pahitnya yang melibatkan jatuhnya produk serta jasa yang runtuh akibat sedikitnya orang yang tahu akan keberadaannya membuatnya menjadi gadis yang lebih pragmatis. Dedikasinya untuk melindungi proyek mengakibatkan dirinya memiliki banyak musuh.
Formatnya sebagai klub SMA memang membuat skala proyeknya lebih kecil dibandingkan seri sejenis dan era yang anakronistis ini juga menghasilkan karakter yang lebih bersedia menggunakan software & hardware modern namun tetep aja jualan kepingan DVD sebagai sumber duit utamanya. Sumito Oowara sendiri selaku pencipta orisinal sebenarnya cukup kritis terhadap situasi industri anime dan pandangan dia terhadap kondisi kerja para kreator bisa terlihat jelas di tiap proyeknya.
The Production
Saat bicara soal adaptasi, saya bakal fokus ke apakah adaptasi tersebut ngasih cukup nilai tambah dibandingkan dengan sumber materinya. Ini bukan berarti saya mandang rendah anime yang merasa cukup jadi iklan aja ya, karena ini memang tanggung jawab utama mereka. Harusnya nggak ada yang kaget seri tentang animasi ini kebantu banget dengan adaptasi studio Science SARU ini.
Dibanding dengan manga, anime ngasih banyak nilai tambah seperti penggunaan Future Boy Conan sebagai sumber inspirasi Asakusa dan pengenalan lebih awal Doumeki Parker selaku spesialis audio. Kalau kalian ngerasa kenapa Doumeki tiba-tiba ngilang di beberapa beat cerita, itu emang karena dia harusnya belum nongol. Segmen Greatest World juga nawatrin lebih banyak momen fantastis + SFX kreatif yang dibuat sama mulut, cuma rada repot aja untuk ngeliat catatan kecilnya mesti sering nge-pause.
Karakter juga jadi memiliki identitas yang lebih melekat berkat casting yang bagus. Asakusa dialognya dibuat senetral mungkin, Kanamori punya perangai dan temperamen seorang Yakuza, sementara Mizusaki selaku sang idol mendapat peran heroine yang lebih distinktif berkat interaksinya dengan dua rekan kerjanya ini.
Between Idealism and Reality
Kompromi antara idealisme dan kenyataan. Ini ditunjukkan dengan tiga proyek anime yang menjadi fokus. Mulai dari anime pendek yang berakhir jadi klip animasi, seri mecha yang banyak dapat campur tangan sponsor, dan akhirnya seri yang memiliki pandangan optimistik terhadap umat manusia namun berubah menjadi seri yang menunjukkan rencana yang seharusnya 100% sukses menjadi gagal; dan kita hanya bisa berharap yang terbaik saja dengan situasi yang ada.
Semua proyek punya pola di mana ledakan ide membuat para kru semangat mengerjakannya, namun berbagai tekanan dari budget, sponsor, dan dewan pengawas membuat mereka jadi paramedik yang harus ngejahit ulang produk baru dari material yang tersisa. Setelah produk selesai hal yang bisa mereka lihat dari proyek yang sudah selesai adalah berbagai kekurangan yang ngebuat mereka ingin balik ke meja dan ngebuat produk yang lebih baik lagi.
Eizouken memulai langkah mereka dengan membuat klip animasi untuk portofolio, mendapat pengalaman bekerja dengan komite produksi dan outsourcing yang marginnya kecil banget, hingga akhirnya bekerjasama dengan organisasi lokal untuk mendapat subsidi turisme untuk proyek besar mereka. Kebanyakan studio berada di langkah kedua, dan perlu nama besar seperti Mari Okada yang bisa nyaman konsisten di langkah ketiga.
Walaupun klub robot selaku komite produksi di ceritanya memang relatif lebih kooperatif untuk menjamin kesuksesan proyek. Tapi kenyataan kalau Kanamori langsung nyeret pergi Eizouken dari sistem ini nunjukin kalau sang kreator merasa sistem komite produksi tidak sehat untuk kelangsungan studio.
Verdict: There’s nothing fun about social media
Kedua seri ini bakal sering dibandingin namun saya melihat Shirobako sebagai seri tentang produksi anime, sementara Eizouken adalah seri tentang produksi animasi. Sumber materi kuat didukung oleh adaptasi yang kuat juga, seri ini sudah memenuhi kriteria Anime of The Year saya berhubung nggak punya episode lemah selama penayangannya di situasi industri kayak gini.
Kita memang masih akan mendapat Jepang Tenggelam di musim panas, hanya saja secara efektif melihat Yuasa sudah berhenti dari studionya akan sangat lama sampai kita mendapat seri TV Yuasa lagi. Namun dengan output seperti Eizouken saya rasa ini adalah hadiah pamit yang bagus.