Quick verdict: Bagi yang sangat anti spoiler, saya berikan langsung kesimpulan cepat dari ulasan ini. Film Gundala (2019) bukanlah yang mau kalian tonton kalau kalian mencari film superhero.
Karakter superhero bukanlah sesuatu yang asing lagi di industri hiburan. Berkat Marvel dan DC, superhero telah menjadi tema yang sangat populer di semua kalangan. Tidak mau kalah dengan barat, Indonesia juga dihebohkan tahun ini oleh tayangnya film Gundala yang dibawakan oleh BumiLangit. BumiLangit berniat menyatukan berbagai karakter jagoan Indonesia pada tahun 60-70an dalam satu universe yang dinamakan BumiLangit Cinematic Universe (BCU) dan Gundala hanya salah satu jagoannya.
Siapa sebenarnya Gundala?
Bagi generasi muda yang belum tahu, Gundala adalah karakter jagoan dari komik ciptaan Hasmi Suraminata berjudul “Gundala Putra Petir” yang sudah terbit pada tahun 1969. Jadi, karakternya sendiri kurang lebih sudah berusia sama dengan Thor (Marvel) yang muncul pertama kali pada tahun 1962. Pada komik ini, identitas Gundala adalah Sancaka, seorang peneliti serum anti petir yang tidak sengaja tersambar petir. Setelah koma akibat samberan petir tersebut Sancaka dibawa menuju planet lain tempat kedudukan Kerajaan Petir. Di situlah Sancaka mendapatkan kekuatan petirnya dari kaisar Kerajaan Petir dan menjadi Gundala.
Pada film Gundala (2019), BumiLangit hanya mengadaptasi sosok jagoan dan villain dari komik Hasmi, tapi memberikan setting dan cerita baru. Saya kira ini hal yang sangat wajar dilakukan supaya filmnya bisa sesuai dengan selera generasi masa kini. Dari kutipan komentar Joko Anwar sang sutradara saat jumpa pers April 2018 yang lalu, kita juga dibawa menuju harapan akan lahirnya cerita superhero yang baru, yang lepas dari unsur-unsur barat, yang khas Indonesia. Itulah awal mula dari Gundala di kepala kita semua.
“Karakter building-nya, yang patut digaris bawahi kita ingin buat film action jagoan Indonesia. Jadi terminologi superhero yang kita anggap serapan dari barat, kita simpan dulu deh. Kita tampilkan dengan kearifan lokal,” kata Joko Anwar tahun lalu.
Good Points: Konsep cerita yang kompleks
Baik, saatnya kita masuk ke review dari film Gundala (2019). Secara keseluruhan, film ini keren dan patut diacungi jempol. Film Gundala memberikan warna baru pada dunia perfilman Indonesia yang akhir-akhir ini sudah jenuh oleh drama, percintaan, komedi, dan horor. Joko Anwar bukanlah sutradara terbaik untuk adegan action, tapi kerja keras sang sutradara dan tim produksi cukup terlihat pada hasil akhirnya.
Konsep cerita yang dibawakan sangat menarik. Pada dasarnya, ada dua cara untuk membuat suatu cerita menjadi seru, yaitu dengan menciptakan alur progresif yang menantang tokoh utama untuk berkembang dan maju, atau dengan memperdalam juga memperluas konflik yang ada. Gundala sukses melakukan cara kedua, dengan memadukan masalah yang tersembunyi di dunia belakang (adanya sosok villain yang tidak tampil di depan) dengan masalah di permukaan seperti politik. Cerita ini tidak semata-mata hanya berupa pertarungan antara jagoan dan penjahat, di mana penjahat datang lalu langsung menyerang, merusak, dan menghancurkan semuanya dengan kasar. Konsep cerita dark story nya lebih mirip DC ketimbang Marvel.
Tapi maaf, saya sulit mencerna filmnya.
Selama menonton, saya beberapa kali dibuat bingung dengan perpindahan adegan yang ada. Banyak sekali pertanyaan yang muncul karena saya tidak bisa mencerna alur sebab-akibat dari adegan-adegan tertentu, “Loh kok tiba2 begini? Memang tadi gimana?”. Menurut saya, ini terjadi karena penonton dicekoki terlalu banyak materi. Kita bisa memahami kalau BumiLangit ingin memperkenalkan Gundala sebagai bagian dari sebuah universe. Namun saya merasa banyak sekali yang sudah dibuka sejak awal, termasuk background dari villain, yaitu Pengkor. Dalam mengembangkan sebuah universe, sangatlah penting untuk memilah-milah apa yang harus diberitahukan sekarang dan apa yang sebaiknya masih disembunyikan. Ini dilakukan untuk menciptakan fokus cerita sekaligus mempermudah penonton menikmati secara perlahan.
Parahnya lagi, pembabakan yang berantakan ini juga tidak dibantu dengan karakter-karakter yang terlibat maupun dialog-dialog mereka yang kaku. Character development Sancaka sangat dangkal dan to be honest motif Sancaka untuk jadi Gundala sangatlah lemah. Dalam pembuatan cerita, hal paling fatal yang bisa terjadi adalah ketika penonton atau pembaca tidak bisa nattoku atau menerima langkah-langkah dan keputusan yang diambil tokoh utama. Sancaka tumbuh di lingkungan yang susah dan membuat dia tidak peduli terhadap orang lain. Dalam kondisi seperti itu, tidak mungkin Sancaka tiba-tiba dengan cepat berubah pikiran dan bersedia jadi jagoan untuk rakyat. Saya rasa masih dibutuhkan adanya satu momen krusial lagi yang khusus didedikasikan untuk mendobrak status quo atau zona nyaman Sancaka.
Ini film superhero atau film horor?
Terlepas dari baik buruknya Gundala (2019), ada satu hal yang sama sekali tidak bisa saya terima, yaitu penyajian adegan-adegan Gundala seperti film thriller dan horor. Mungkin saja ini memang gaya Joko Anwar yang sudah berpengalaman di film-film horor. Mungkin juga ini adalah cara Joko Anwar membuat Gundala menjadi “lebih” Indonesia karena genre horor memang digemari dan menjual di sini. Akan tetapi, film superhero adalah film universal yang menurut saya harus bisa menarik perhatian anak-anak demi membuat mereka mengagumi jagoannya. Saya pesimis Gundala akan jadi populer di kalangan anak-anak dengan penyajian horor seperti ini.
Ini dia Pengkor, villain utama di film Gundala. Quite dark, but not that mysterious.
Apakah komiknya membantu?
Komik adaptasi film Gundala (2019) yang diterbitkan Koloni sebetulnya cukup menarik dan memberikan banyak pencerahan akan hal-hal yang tidak disampaikan di filmnya. Tapi daripada suplemen, komiknya lebih menjadi komplemen dari filmnya. Komik adaptasi ini menceritakan cerita yang sama dengan filmnya tapi dari sudut pandang Pengkot dan anak-anaknya. Saya berencana membahas review komik ini di artiikel lain, tapi secara singkat komik ini bukan komik Gundala, melainkan komik Pengkor.
Yang harus disesali dari komiknya ada dua. Pertama, paneling yang tidak jelas dan membuat saya seringkali bingung harus membaca ke mana selanjutnya. Kedua, karakter Gundala di komiknya terkesan lebih “ceria” dan lebih banyak bicara. Padahal Sancaka di film Gundala (2019) digambarkan sebagai sosok yang pendiam dan tak banyak omong. Tidak ada yang tahu apakah ini disengaja atau blunder, tapi ada perasaan mengganjal saat melihat sedikit perbedaan pada persona Gundala.
Final Comment: Mau dibawa ke mana?
Gundala (2019) dan BCU adalah karya yang telah membawakan angin segar baru ke dunia perfilman Indonesia dan sangat patut diapresiasi. Antusiasme orang Indonesia juga sangat tinggi, melihat jumlah tiket yang terjual sudah mencapai 1 juta lembar. Dengan basis penikmat superhero yang besar di Indonesia, mungkin akan banyak sekali tantangan yang harus mereka hadapi untuk bisa mengangkat nama universe ini ke tahap selanjutnya. Semuanya tergantung pada teknik penyajian dan pengembangan universe yang akan dilakukan BumiLangit ke depannya.
Jagoan-jagoan BumiLangit Cinematic Universe (BCU). Well, presentasinya cukup mirip DC dan Marvel ?
Menurut saya pribadi, lebih baik kalau cerita Gundala dimulai saat Sancaka sudah menjadi Gundala dan melawan penjahat-penjahat. Lalu cerita ini diulang terus menerus dengan template yang sama hingga sosok Gundala cukup membumi. Barulah setelah itu dibuat film prequel awal mula Gundala. Film yang dibuat juga sebaiknya tidak disajikan dengan teknik-teknik horor karena akan mengusir anak-anak dari bangku penonton. Bagi saya, dark story tidak sama dan tidak harus disajikan dengan horror directing.
Tapi, seperti yang sudah saya katakan di atas, mungkin film ini memang mengincar penikmat horor dan tidak ditargetkan untuk anak-anak. Kita sebagai penonton tidak tahu arah pengembangan yang sudah direncanakan oleh BumiLangit. Saya tetap menikmati film Gundala (2019), tapi pertanyaan terakhir yang muncul di kepala saya adalah:
BCU ini mau dibawa ke arah mana?