Sabtu kemarin saya berkesempatan hadir dalam Pekan Sinema Jepang 2018 di CGV Grand Indonesia. Ada banyak film yang diputar, dan saya memilih “Mary to Majo no Hana” sebagai yang perdana untuk saya cicipi.
Mary to Majo no Hana atau dalam judul bahasa Inggrisnya, Mary and the Witch’s Flower membawa kisah yang berpusat pada tokoh utama Mary, si gadis cilik yang useless minta ampun. Sikap dari Mary ini sebenarnya cukup baik, dia berusaha menolong orang namun selalu sial dengan kegagalan yang terus berulang. Sampai perjumpaannya dengan seekor kucing, atau lebih tepatnya sepasang kucing yang mempertemukan dia dengan bunga biru misterius mengubah nasibnya.
Movie ini sendiri diangkat dari novel karangan Mary Stewart yang berjudul The Little Broomstick yang sudah ada sejak tahun 1917. Studio Ponoc, yang lebih sering dikenal dengan pecahan dari Ghibli merilis anime ini pada tahun 2017 menandakan sudah 100 tahun kisah ini sudah mengudara. Meskipun usia studio masih sangat muda, para mantan Ghibli yang berada dibawah komando Hiromasa Yonebayashi (Karigurashi no Arrietty, Omoide no Marnie) menuangkan pengalaman mereka sehingga anime ini sangat layak untuk diperhitungkan sebagai sebuah mahakarya.
Jadi seperti apa isi lebih jelasnya anime movie ini? Berikut ulasan lengkapnya.
Like Father Like Son
Mungkin kalian akan bosen kalau saya selalu mention kaitan Ponoc dan Ghibli tapi hal itu tidak bisa dipungkiri. Sentuhan art dan animasi khas Ghibli sangat terasa dalam Mary to Majo no Hana. Ponoc mungkin boleh tsundere dengan keberadaannya sebagai “putera” dari Ghibli, tapi kuatnya hubungan antara kedua studio dapat kita saksikan dengan mata kepala kita sendiri.
Animasi yang tidak pernah kaku, semua karakter bergerak aktif tanpa terkecuali. Saya cukup menyukai bagaimana hewan berlari dengan gaya berjalannya sendiri seakan tidak ada jauh bedanya dengan menonton Lion King buatan Disney. Backgroundnya pun cukup indah serasa melihat lukisan cat air yang sering dipajang dalam museum. Perpaduan warna-warni yang sempurna melengkapi itu semua menjadikan anime ini memanjakan mata dari segi seni visual yang ada.
Pace yang sempurna dalam progress ceritanya
Kembali ke inti cerita, diawal film kamu akan disuguhi sedikit flashback masa lalu tentang seorang gadis kabur dari kejaran lele terbang yang kemudian jatuh bebas dari ketinggian kurang lebih 20.000 kaki (*insert Asu no Yozora Shoukaihan here*). Setelah itu kamu akan disajikan full cerita inti soal Mary, bagaimana dia sebelum menjadi seorang penyihir, apapun yang dikerjakannya pasti berantakan. Pivotnya, pada saat Mary dituntun Tib dan Gib sepasang kucing hitam dan abu-abu menuju hutan yang ternyata terdapat bunga biru misterius yang disebut “fly-by-night“. Bunga ini mekar 7 tahun sekali dan sangat dicari oleh para penyihir saking langkanya.
Singkat cerita bunga ini mengubah Mary menjadi seorang penyihir dadakan dan mengantarnya dia ke Akademi sihir diatas langit dengan sapu ajaib ditambah beban tambahan Tib yang ngejones sementara. Di Endor College, akademi sihir yang disebut tadi, Mary yang polos disambut dengan baik oleh kepala sekolah, Madam Mumblechuuk dan Doctor Dee. Dia dianggap sebagai murid baru akademi berbakat. Mary yang awalnya membenci dirinya mulai berbangga seiring pujian yang terus dilontarkan mereka.
Namun ternyata kejadian itu membawa petaka. Bunga yang memberinya kekuatan penyihir ternyata adalah hasil curian gadis yang ada dalam flashback diawal film. Rahasia akademi Endor dalam membuat sihir transformasi juga terungkap. Akhirnya terjadilah konflik antara 2 tokoh sentral akademi Endor versus Mary.
Sampai disini sinopsisnya berakhir, selebihnya spoiler (*teehee*). Namun spoiler ini ternyata sudah mencakup setengah bahkan lebih dari total keseluruhan plotnya. Hanya membutuhkan sekitar 3 hari 3 malam untuk memuat kisah petualangan Mary. Sebuah plot yang simple dan cocok untuk dijadikan sebuah movie dalam durasi 2 jam.
Sentralitas Mary dalam segala keimutannya
Tokoh utama kita, Mary diperlihatkan banyak kali dalam berbagai keimutannya. Sebagai tokoh utama, presensi Mary sangat kuat ditunjukan sehingga tiap scene tidak pernah luput dalam campur tangan Mary. Tokoh Mary ini akan membekas setelah kamu menontonnya. Selain tingkah laku dan ekspresi kocaknya, suara Mary yang diisi oleh Sugisaki Hana sangat hidup sehingga kamu bisa betah mantengin Mary berjam-jam.
Finally, Sekai no Owari!
Salah satu hal yang membawa saya untuk memilih Mary untuk ditonton adalah lagu tema yang dibawakan Sekai no Owari yang berjudul RAIN. Saya bukan fans Sekai no Owari, tapi lagunya cukup enak didengar, tidak, bahkan sangat bagus untuk didengar. Apalagi untuk kamu fans Sekai no Owari, pastinya kamu tidak bisa melewatkan yang satu ini. Tapi yang penting, fans atau bukan, saya yakin lagu ini sangat bisa diterima oleh banyak orang karena makna dan melodi yang harmonis sangat menggugah hati.
MVP kita nantinya karakter sampingan ini
Conclusion
Selalu berlaku peribahasa tidak ada gading yang tak retak. Dibalik seakan kesempurnaan Ponoc dan pengisi suara Mary yang masih sedikit rolenya, masih ada beberapa lubang kecil yang terlihat. Mungkin kalau kamu peka pasti akan mempertanyakan plot hole hubungan Mary dengan rambut uniknya, atau kisah Bibi Charlotte dan sebagainya. Tapi lupakanlah semua itu! Anime ini telah berhasil memenuhi tugasnya sebagai pengisah cerita fantasi yang dapat diterima oleh anak-anak. Banyak pesan moral klasik yang bisa didapat. Jangan harap ada detail dan komplikasi seperti film Makoto Shinkai. Yang jadi pertanyaannya, itu lele terbang khas indosiar kenapa bentuknya mistis gitu ya?
Untuk kamu yang tertarik menonton Mary to Majo no Hana, kamu masih bisa menontonnya di Pekan Sinema Jepang 2018. Kamu bisa cek infonya disini. Disana kamu juga bisa menonton banyak film Jepang lainnya. Jangan lupa ajak keluarga kamu ramai-ramai untuk menontonnya ya!