Tidak biasanya saya membuat ulasan semacam ini di Jurnal Otaku Indonesia. Hal tersebut menjadikan artikel ini sebagai ulasan pertama saya tentang serial anime. Kali ini saya akan mengulas serial yang memiliki visual yang sudah menarik perhatian banyak penonton pada musim lalu, “Somali to Mori no Kamisama”.
Somali to Mori no Kamisama merupakan serial manga daring yang dibuat oleh Yako Gureishi di majalah Web Comic Zenyon. Manga ini mulai berjalan sejak 26 April 2015 dan hingga kini masih berjalan. Tokuma Shoten telah menerbitkan volume keenam manga ini pada 20 April 2019. Adaptasi anime-nya diproduksi oleh studio Satelight dan HORNETS yang tayang sebanyak 12 episode. Kenji Yasuda (Hakata Tonkotsu Ramens) menjadi sutradara anime ini. Mariko Mochizuki (Aquarion Logos) berperan sebagai penyusun skrip dan Ikuko Ito (Princess Tutu) menjadi desainer karakternya.
Berdasarkan manga-nya, seri ini mengambil setting di sebuah dunia yang dikuasai oleh arwah dan monster, dan dimana manusia sering dianiaya dan makin diambang kepunahan. Di suatu hutan, Golem –sang penjaga hutan- dan seorang gadis kecil saling bertemu. Gadis tak bernama ini kemudian dinamai Somali oleh sang Golem. Sang Golem menyadari bahwa eksistensi Somali sudah terancam sejak ia mengetahui bahwa gadis tersebut adalah manusia. Dengan waktu hidup sang Golem yang kian menipis, kedua memutuskan untuk melakukan perjalanan demi mencari umat manusia yang masih hidup di dunia itu.
Staff be like: “They think it will be end like this, but it’s not!”
Saya sendiri senang dengan keputusan staf produksi untuk membuat serial ini tetap menggunakan langkah yang lambat hingga akhir episodenya. Sehingga tetap terjaga keteraturan material dari cerita yang ditampilkan dan tak ada rasa sesak atau ketidaknyamanan saat mengikuti pengembangan ceritanya. Bersamaan dengan itu, pengerjaan visual latar belakang dan setting-nya sangat perlu diapresiasi.
Membaca sinopsisnya disini, saya rasa akhir yang buruk adalah jalan terbesar yang bisa digunakan dalam serial ini. Dari episode ke episode, sesuatu ada yang mengembang bersamaan dengan perjalanan ayah palsu dan putrinya ini. Kemudian terjadilah interaksi dengan makhluk lainnya, dimana pandangan mereka terhadap manusia tak seluruhnya sama. Menyadari hal ini, akhir yang saya bayangkan perlahan bergeser menjadi akhir yang baru. Akhir yang penuh dengan harapan dan bayangan akan masa depan indah dengan kehidupan bersama antar makhluk dalam dunia tersebut.
Gorgeously Angst
Dengan jalan cerita yang menimbulkan prasangka buruk terkait nasib karakternya, kekhawatiran pasti tak terelakan. Narasi yang dibentangkan pemilik cerita ini memang terasa lihai untuk menjaga penonton agar tetap penasaran. Ya tentunya, jikalau tidak seperti itu, mungkin orang-orang seperti saya sudah berhenti melanjutkan serial ini di bulan Februari. Reifikasi di dalam cerita antara interaksi makhluk seperti golem, goblin, dwarf, oni hingga manusia memang perlu dijadikan suatu objek, dengan tujuan untuk menyetarakan atau memaklumkan isi dunia yang dibangun dengan cukup aneh ini. Hingga muncul suatu kedutan seperti permusuhan antara umat manusia dan makhluk yang mereka anggap “buruk rupa”. Kedutan ini malah menjadi gelombang yang membahayakan bagi umat manusia, hingga sampai kita di keadaan masa sekarang.
Hanya menyediakan satu kalimat untuk mengapresiasi visual dan latar belakang dari anime ini saya anggap sebagai lelucon. Seriously, what a stunning piece of work. Saya bisa menyimpan satu galeri penuh dengan visual dari serial ini. Setelah memeriksa secara teliti, ternyata ada andil dari Chiho Nakamura dalam pewarnaannya. Siapakah dia? Nakamura adalah desainer warna veteran yang sudah dikenal dari sentuhannya dalam serial anime seperti Youjo Senki, Hayate no Gotoku, dan Speed Grapher.
Satu orang lainnya yang berperan besar dalam keindahan ini adalah Vincent Nghiem, yang berperan sebagai penata seni animasinya. Vincent merupakan kreator seni latar belakang, desainer karakter dan animator yang berasal dari Prancis dan sekarang menetap di Tokyo. Ia merupakan bagian dari tim asal Prancis yang bekerja untuk studio Satelight. Tim ini dikepalai oleh Thomas Romain, kreator dari serial Code Lyoko. Sebelum ikut andil dalam proyek Somali to Mori no Kamisama, ia sempat bekerja dalam proyek serial anime Senki Zesshou Symphogear G, Hakata Tonkotsu Ramens, Macross Delta, dan Caligula. Jika kalian penasaran dengan karya-karya yang ia buat, segeralah tuju akun Tumblrnya.
Trying to be Realistic
Penggambaran seorang anak perempuan bernama Somali selalu menumbuhkan kekesalan bagi para telinga lemah dikarenakan kerealistisan karakternya dengan anak-anak di dunia nyata. Dia berisik, demi memuaskan keingintahuannya. Dia susah diatur, demi menuntaskan rasa penasaranya. Dia lucu, demi menunaikan kodrat seorang anak kecil. Dia menyayangi orang lain, tanpa mengindahkan situasi yang menghantuinya. Perempuan yang mudah dimengerti, namun sulit diajak mengerti, layaknya seorang anak-anak. Gureishi membentuk karakter ini layaknya anak tanpa pengalaman, walau ia sudah dari kecil menjadi budak dan calon santapan para makhluk lain.
Kemudian sang Golem, penjaga hutan yang lebih mirip dengan robot yang sudah diprogram sedemkian rupa. Ia tak punya perasaan, namun bertindak menggunakan logika tajamnya. Perannya sebagai ayah pengganti lebih seperti Terminator hutan yang diberikan misi untuk melindungi hutan dan menjaga makhluk di dalamnya. Dijelaskan tanpa emosi, akan tetapi ada yang tumbuh dalam dirinya setelah bertemu Somali. Saya sendiri tak mengetahui darimana tumbuhnya emosi itu berasal, namun ini perlu diperluas lagi dalam cerita tambahan jika diperlukan. Saya yakin ada beberapa suara yang mengkritisi hal ini dalam ulasan mereka masing-masing.
Verdict: Polesan Terbaik dari Orang-Orang Terpilih
Kaczmarek
Orang terpilih disini tentunya para staf dan seiyuu-nya. Kenji Yasuda yang sebelumnya cukup sukses menyutradarai Hakata Tonkotsu Ramens, kembali menunjukan tajinya dengan dibantu oleh skripter Mariko Mochizuki dan desainer karakter Ikuko Itou. Perlu diketahui serial ini adalah debut dari Mochizuki menjadi penyusun skrip skenario secara penuh, and well-well he’s done a great job on this one. Tak lupa juga dengan staf lainnya yang tampaknya masing-masing telah meninggalkan trademark tersendiri dalam anime ini.
Story: 7/10
Enjoyment: 7,5/10
Animation: 8/10
Visual: 9/10
Audio: 7/10
Character: 7/10
Overall: 7,5/10
Dengan berakhirnya adaptasi anime-nya, mubazir jika tak ada suatu prekuel atau volume 0 dimana masa lalu dua karakter ini dibahas lebih banyak. Ini hanya permintaan kosong untuk Gureishi sih sebenarnya hehe.
Impresi pertama pada serial ini kurang lebih sama seperti Kaczmarek, dimana serial ini akan berakhir dengan buruk. Dengan impresi seperti itu, serta lagu opening dan ending yang mendukung impresi tersebut, saya sendiri selalu was-was dan sudah mempersiapkan diri pada setiap episodenya. Jalan cerita di setiap episodenya cukup sederhana, dimana disini mereka seperti selalu menemukan hal baru baik itu untuk Somali atau Golem itu sendiri, karena mereka terhitung sebagai makhluk yang jarang ditemui di serialnya.
Satu lagi apresiasi terhadap visualnya yang memanjakan mata, dimana setiap desa atau tempat baru yang Somali tuju digambarkan dengan sangat menarik. Tiba di ending dari anime ini, dimana sang Golem yang mampu “Survive” dan tetap bersama Somali. Benar ini memang merupakan ending bahagia, namun saya sendiri malah merasa kecewa, karena ga ada sama sekali punchline yang diberikan atau kurang lebih sama seperti episode episode sebelumnya cuman bedanya ini adalah episode terakhir. Saya pikir, kurang lebih ini merupakan anime yang hampir keseluruhannya bagus namun tidak dengan endingnya.
Story: 6/10
Enjoyment: 9/10
Visual: 9/10
Animation: 7/10
Audio: 8/10
Character: 7/10
Overall: 7.8 / 10